Senin, 16 Maret 2015
dunia Islam dan tatanan masyarakat madani
MAKALAH PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
“DUNIA ISLAM DAN
TATANAN MASYARAKAT MADANI”
Disusun oleh :
KELOMPOK V
IMA RAHIMA HIDAYATI (G11114324)
RINY REZKIANANDA (G11114326)
FAIZAL ABDI MUSTAMA (G11114328)
NUR SEPTYARINI JUSTA (G11114329)
ANISA RAHMAWATI (G11114331)
LISTIAWATI (G11114332)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Segala
puji hanya milik
Allah SWT. Shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan
dan rahmat-Nya penyusun
mampu menyelesaikan tugas
makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Agama Islam.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak
sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan
dari berbagai pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas
ilmu tentang dunia Islam dan tatanan masyarakat madani, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Hasanuddin. Kami sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari para pembaca demi perbaikan kearah kesempurnaan.
Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Wassalam.
Makassar,
16 November 2014
Penulis
I.
PENDAHULUAN
I.1
Latar belakang
ISLAM, yang daya
‘perlunya selalu realistis, yang relevan abadi dan yang maqam ruang waktunya
senantiasa aktual, kini ditatap oleh para pemeluknya dengan rasa malu, rasa
bersalah dan rasa penasaran kepada diri sendiri. Kaum muslimin dewasa ini amat
sibuk berkaca, menatapi wajahnya dicermin, baik untuk sekadar bersolek maupun
buat merenung.
Ada
rasa asing kepada diri sendiri: sebuah arus besar membawa mereka, berabad
lamanya, entah ke mana. Maka Alhamdulillah untuk rasa asing itu. Kata Sang Nabi
pembawa agama pamungkas ini, Islam melangkah pertama dalam dan dengan keasingan
kemudian di tengah perjalanannya ia akan berjumpa dengan keasingan demi
keasingan.
Dewasa
ini, sebagai akibat negatif globalisasi, nyaris umat manusia di seluruh dunia
sedang dilanda kehampaan spiritual yang luar biasa. Perkembangan kemajuan yang
begitu cepat, mengakibatkan masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh
peradaban modern, di manapun mereka berada.
Pandangan
mayarakat modern yang bertumpu pada prestasi iptek, telah meminggirkan dimensi
transcendental. Akibatnya, kehidupan masyarakat modern menjadi kehilangan salah
satu aspeknya yang paling fundamental yaitu aspek spiritual.
Diakui
memang, agama dan pengetahuan adalah dua hal yang memainkan peranan penting
dalam kehidupan manusia. Agama adalah semesta rujukan dimana manusia dapat
menemukan makna dan inti kehidupan, sedangkan pengetahuan adalah media yang
dapat mengurai dan menjelaskan keunikan dan kerumitan alam semesta.
Seiring
dengan berkembangnya wawasan, manusia akan lebih dapat memilah-milah bagian-bagian
yang positif dan negatif untuk diri pribadi dan orang lain. Dengan peradaban
manusia yang semakin modern maka pola pikir manusia akan lebih berkembang.
Apabila dikaitkan dengan kebudayaan Islam maka manusia merupakan suatu fungsi
yang di gunakan untuk meneruskan kebudayaan Islam dimasa lalu untuk menjalankan
peradaban modern. Kebudayaan Islam digunakan sebagai pedoman agar manusia tidak
terjerumus dalam hal-hal yang negatif dan manusia dapat memahami betapa
pentingnya mempelajari tentang kebudayaan Islam agar kita sebagai umat Islam
dapat tahu betul bagaimana sebenarnya kebudayaan Islam yang sesungguhnya.
Namun
persoalannya menjadi problematis, karena masyarakat Islam saat ini berada pada
situasi kemodernan atau era globalisasi. Di satu sisi, masyarakat Islam
dituntut untuk mampu beradaptasi dengan budaya yang berkembang. Karena sikap
budaya yang ekstrover, menyebabkan
umat Islam tertinggal dan terbelakang. Dengan demikian, umat Islam dituntut
untuk merumuskan satu doktrin ajaran agama yang mampu menetapkan sifat
normative di satu sisi, namun di sisi lain, mampu melakukan jawaban atas
tantangan baru yang cepat.
Dalam
kondisipada tatanan global seperti saat ini, masyarakat sering menyalahartikan
antara civil society dengan
masyarakat madani yang sebenarnya merupakan padanan kata namun memiliki makna
yang jauh berbeda. Peradaban maju saat ini lebih dikaitkan dengan civil societydan melupakan konsep masyarakat
madani yang dibangun sendiri oleh Nabi Muhammad SAW dan seharusnya menjadi
kiblat kemajuan peradaban dunia.
I.2 Rumusan masalah
Dari latar belakang yang telah
dirumuskan di atas, maka kami mengangkat beberapa poin rumusan masalah yang
akan kami bahas dalam makalah ini, diantaranya:
·
Bagaimana
kebudayaan-kebudayaan Islam?
·
Apa perbedaan
masyarakat madani dengan civil society?
·
Bagaimana umat Islam
dalam tatanan dunia global menuju masyarakat madani?
·
Bagaimana potensi umat Islam
dan peranannya dalam dunia global untuk menciptakan masyarakat madani?
I.3 Manfaat penulisan
·
Mengetahui
kebudayaan-kebudayaan Islam yang dapat dijadikan bahan pembelajaran.
·
Dapat membedakan antara
masyarakat madani dengan civil societydan
dapat menerapkan perilaku dari masyarakat madani dalam kehidupan sehari-hari.
·
Mengenal kondisi umat Islam
tatanan dunia global dalam proses menuju masyarakat madani.
·
Menerapkan perilaku
umat Islam yang sesui dengan kaidah-kaidah agar menciptakan masyarakat madani.
II.
PEMBAHASAN
II.1 Kebudayaan dan Peradaban Islam
II.1.1Pengertian Kebudayaan Islam
Menurut
ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dandaya. Budi
mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan. Daya
mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Jadi kebudayaan berarti
kumpulan segala usaha dan upaya manusia yang dikerjakan dengan mempergunakan
hasil pendapat untuk memperbaiki kesempurnaan hidup (Sidi Gazalba, 1998).
A.I Kroeber dan
Clide Kluckhan telah mengumpulkan kurang lebih 161 defenisi tentang kebudayaan
(Musa Asy’arie/1992-1993). Secara garis besarnya defenisi kebudayaan sebanyak
itu dikelompokkan ke dalam enam kelompok sesuai dengan tinjauan dan sudut
pandang masing-masing pemuat definisi.
1. Kelompok
pertama, menggunakan pendekatan deskriptif dengan menekankan pada sejumlah isi
yang terkandung di dalamnya seperti definisi yang dipakai oleh Tylor bahwa
kebudayaan itu ialah keseluruhan yang amat kompleks meliputi ilmu pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta
kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Kelompok
kedua, menggunakan pendekatan historis dengan menekankan pada warisan sosial
dan tradisi kebudayaan seperti definisi yang dipakai oleh Pork dan Burgess yang
menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah sejumlah totalitas dan
organisasi serta warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna
yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.
3. Kelompok
ketiga, menggunakan pendekatan normative seperti defenisi yang dipakai oleh
Rolph Linton (Linton/1945:27) yang menegaskan bahwa kebudayaan suatu masyarakat
adalah pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang
mereka pelajari, mereka miliki, kemudian diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
4. Kelompok
keempat, menggunakan pendekatan psikologi yang di antaranya menekankan pada
aspek penyucian diri (adjustment) dan
proses belajar seperti defenisi yang dipakai oleh Kluckhon yang menegaskan
bahwa kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses suatu masyarakat.
5. Kelompok
kelima, menggunakan pendekatan structural dengan menekankan pada aspek pola dan
organisasi kebudayaan seperti defenisi yang dipakai oleh Turney yang menyatakan
bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang
berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan baik yang
material maupun nonmaterial.
6. Kelompok
keenam, menggunakan pendekatan genetik yang memandang kebudayaan sebagai suatu
produk, alat-alat, benda-benda ataupun ide dan symbol. Termasuk dalam kelompok
ini adalah defenisi yang dibuat oleh Bidney yang menyatakan bahwa kebudayaan
dapat dipahami sebagai proses dinamis dan produk dari pengolahan diri manusia
dan lingkungannya untuk pencapaian akhir individu dan masyarakat.
Dari berbagai
tujuan dan sudut pandang tentang definisi kebudayaan menunjukkan bahwa
kebudayaan itu merupakan suatu persoalan yang sangat luas. Namun esensinya
adalah bahwa kebudayaan itu melekat dalam diri manusia. Artinya bahwa
manusialah sebagai pencipta kebudayaan itu. Dari penjelasan di atas, kebudayaan
dapat dilihat dari dua sisi yaitu kebudayaan
sebagai suatu proses dan kebudayaan
sebagai suatu produk.
Secara umum
kebudayaan adalah istilah yang menunjukkan segala hasil karya manusia yang
berkaitan erat dengan pengungkapan bentuk. Kebudayaan merupakan wadah, di mana
hakikat manusia dengan pengembangan diri (kebudayaan) tersebut terjalin
hubungan, korelasi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya,
kebudayaan sering dipegaruhi oleh banyak factor, seperti tempat, waktu, dan
kondisi masyarakat, sehingga lahir suatu bentuk kebudayaan khusus, seperti
kebudayaan Islam, kebudayaan Timur, dan kebudayaan Barat. (Ensiklopedi
Indonesia: 1705). Kebudayaan lahir dari olah akal budi, jiwa atau hati nurani
manusia. Bentuk kebudayaan tersebut selau mencerminkan nilai-nilai kehidupan
yang diyakini, dirasa, dan diharapkan memberikan kebaikan dalam hidup. Oleh
karena itu, kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai tersebut juga disebut
peradaban. Kebudayaan atau peradaban yang dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam
disebut kebudayaan atau peradaban Islam.
Dalam ajaran Islam,
aktivitas kehidupan manusia dalam bentuk olah akal-budi nuraninya harus
dibimbing oleh wahyu. Akal budi nurani manusia memiliki ketebatasan dan
dipengaruhi oleh pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun masyarakat.
Sekalipun aktivitas akal budi nurani manusia dalam bentuk kebudayaan atau
perdaban tersebut diyakini atau diharapkan
memberikan kebaikan bagi masyarakat yang melahirkan kebudayaan-peradaban
tersebut, dalam pandangan masyararkat lain belum tentu dinilai baik. Oleh
karena itu, sejak awal manusia dilahirkan, Allah Yang Maha Tahu akan
keterbatasan manusia menurunkan wahyu sebagai pembimbing arah olah akal budi
nurani manusia tesebut, agar tidak berkembang dan melahirkan
kebudayaan-peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan
yang dianggap menguntungkan sekelompok masyarakat tertentu tetapi merugikan
sekelompok masyarakat lainnya. Wahyu Al-Qur’an sebagai wahyu terakhir yang
diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW menjadi
petunjuk-pembimbing dan menjaga nilai-nilai universalitas kemanusiaan tersebut
sekalipun memberikan toleransi perwujudan kebudayaan-peradaban khusus.
Al-Qur;an
memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses dan meletakkan kebudayaan
sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan
manusia yang meliputi kegiatan akal, hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu
perbuatan. Karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah
akal budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tak mungkin terlepas dari
nilia-nilai kemanusiaan, namun bisa lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan Islam
merupakan hasil olah akal budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia yang
berlandaskan nilai-nilai tauhid. Islam
sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah akal
budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang
bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.
Dalam
perkembangannya perlu dibimbing wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar
tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan
merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia
dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab
atau peradaban Islam.
Kebudayaan itu
akan terus berkembang, tidak akan pernah berhenti selama masih ada kehidupan
manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas dan kreativitas
manusia, baik dalam konteks hubungan dengan sesamanya, maupun dengan alam
lingkungannya akan selalu terkait dengan kebudayaan orang lain. Di sini
menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk budaya dan makhluk sosial yang tidak
akan pernah bisa hiduptanpa bantuan orang lain.
Allah mengutus
para rasul dari jenis manusia dan kaumnya sendiri karena yang akan menjadi
sasaran dakwahnya adalah umat manusia. Oleh sebab itu misi utama kerasulan
Muhammad SAW adalah untuk memberikan bimbingan pada umat manusia agar dalam
mengembangkan kebudayaannya tidak melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan
sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan
akhlak.” Artinya Muhammad SAW mempunyai tugas pokok untuk membimbing mausia
agar mengembangkan kebudayaannya sesuai dengan petunjuk Allah. Sebelum nabi
diutus, bangsa Arab sudah cukup berbudaya tetapi budaya yang dikembangkannya terlepas
dari nilai-nilai ketauhidan yang bersifat universal. Landasan pengembangan
kebudayaan mereka adalah hawa nafsu.
Mengawali tugas
kerasulannya, beliau meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam kemudian
berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam menyebar di luar
jazirah Arab, kemudian tersebar ke seluruh dunia, maka terjadilah suatu proses
yang panjang dan rumit yaitu asimilasi budaya-budaya setempat dengan
nilai-nilai Islam yang kemudian menghasilkan kebudayaan Islam menjadi suatu
peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
Menurut M.
Natsir, ada enam sumber kekuatan ajaran Islam. Untuk mencapai suatu kebudayaan
bersifat local menjadi suatu peradaban yang universal yaitu:
·
Menghormati akal.
Manusia muslim disuruh menggunakan akalnya untuk mengamati dan memikirkan
keadaan alam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an menyatakan betapa pentingnya
pengembangan akal bagi kehidupan manusia. Dalam kaitan ini proses ijtihad
menjadi penting bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia.
·
Kewajiban menuntut
ilmu. Setiap muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri
Cina.
·
Larangan taklid. Setiap
orang dilarang mengikuti suatu perkara yang ia tidak mempunyai pengetahuan
tentang itu meskipun datang dari para leluhurnya.
·
Mengambil inisiatif. Setiap
muslim dikerahkan untuk mengambil inisiatif keduniaan yang dapat memberikan
kemaslahatan bagi masyarakat umum sekalipun bagi mereka yang tidak seagama,
serta mengadakan barang-banrang yang tidak ada sebelumnya.
·
Menggunakan hak-hak
keduniaan. Kaum muslimin disuruh mencari ridha Allah yang diterimanya atas
nikmat yang diterimanya di dunia ini dan menggunakan hak-hak itu sesuai dengan
aturan agama.
·
Aktualisasi nila-nilai Islam
ke dalam kehidupan nyata kaum muslimin, dianjurkan untuk berhubungan dengan dunia
luar, berinteraksi dengan bangsa-bangsa untuk saling bertukar ilmu pengetahuan.
II.1.2 Perkembangan Kebudayaan Islam
Perkembangan
kebudayaan Islam mempunyai sejarah panjang dalam arti seluas-luasnya. Tradisi
pemikiran di kalangan umat Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu
sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab sendiri, di mana Islam lahir dan pertama
kali berkembang di sana, kedatangannya lengkap dengan tradisi keilmuannya.
Sebab masyarakat Arab pra Islam belum mempunyai sistem pengembangan pemikiran
secara sistematis.
Pada masa awal perkembangan Islam,
tentu saja sistem pendidikan dan pemikiran yang sistematis belum terselenggara
karena ajaran Islam tidak diturunkan sekaligus. Namun demikian isyarat
Al-Qur’an sudah cukup jelas meletakkan pondasi yang kokoh terhadap perkembangan
ilmu dan pemikiran, sebagaimana terlihat pada ayat yang pertama diturunkan
yaitu suatu perintah untuk membaca dengan nama Allah (Q.S. Al-Alaq/96:1). Dalam
kaitan itu dapat dipahami mengapa proses pendidikan Islam berlangsung di rumah
yaitu Darul Arqam. Ketika masyarakat Islam
telah terbentuk, maka pendidikan Islam dapat diselenggarakan di masjid. Proses
pendidikan pada kedua tempat tersebut dilakukan dalam lingkaran besar yang
disebut Halaqah.
Dengan
menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution dilihat dari segi
perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga
masa yaitu masa klasik (650 sampai 1250 M), masa pertengahan (1250 sampai 1800
M) dan masa modern (1800 sampai sekarang).
Pada masa klasik lahir para ulama
madzhab seperti Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Malik. Sejalan
dengan itu lahir pula para filosof muslim seperti Al-Kindi (801 M), seorang
filosof pertama muslim. Di antara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum
muslim hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam.
Selain Al-Kindi, pada abad itu lahir
pula para filosof besar seperti Al-Rasi (865 M), Al-Farabi (870 M). Mereka
dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat. Pada abad berikutnya lahir
pula filosof agung Ibnu Miskawaih (930 M). Pemikirannya yang dikenal tentang
pendidikan akhlak. Kemudian Ibnu Sina (1037 M), Ibnu Bajjah (1138 M), Ibnu
Taufail (1147 M) dan Ibnu Rusyd (1126 M).
Pada masa pertengahan yaitu tahun
1250-1800 M. Dalam catatan sejarah pemikiran Islam masa ini merupakan fase
kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehinga ada
kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu dan dunia
dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.
Sebagian pemikiran Islam kontemporer
sering melontarkan tuduhan kepada Al-Gazali yang pertama menjauhkan filsaft
dengan agama sebagaimana dalam tulisannya “Tahafutul
Falasifah” (keracunan filsafat). Tulisan Al-Gazali dijawab oleh Ibnu Rusdi dengan
tulisan “Tahafutul Tahaful”
(keracunan di atas keracunan).
Ini merupakan awal kemunduran ilmu
pengetahuan dan filsfat di dunia Islam. Sejalan dengan perdebatan di kalangan
para filosof muslim juga terjadi perdebatan di antara para furoqah (ahli fikih)
dengan para ahli teologi (ahli ilmu kalam). Pemikiran yang berkembang saat itu
adalah pemikiran dikotomis antara agama dengan ilmu dan urusan dunia dengan
akhirat. Titik kulminasinya adalah ketika para ulama sudah mendekat kepada para
penguasa pemerintahan, sehingga fatwa-fatwa mereka tidak lagi diikuti oleh
umatnya.
II.1.3
Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam
Masjid
biasanya dipahami oleh sebagian besar masyarakat merupakan rumah ibadah,
terutama untuk shalat, padahal sebenarnya masjid memiliki fungsi yang demikian
luas daripada sekedar untuk shalat. Masjid pada awal berdirinya belum berpindah
dari fungsi yang utama yaitu untuk melakukan shalat, namun perlu diketahui
bahwa masjid pada zaman Rasulullah saw dimanfaatkan sebagai pusat peradaban dan
kebudayaan Islam.
Nabi
Muhammad saw menumbuhkembangkan agama Islam termasuk didalamnya mengajarkan Al
Quran, Al Hadits, bermusyawarah untuk mufakat dalam usaha menyelesaikan
berbagai macam persoalan umat Islam, membina sikap dasar umat Islam kepada
orang-orang nonmuslim, sehingga segala macam ikhtiar untuk mengembangkan
kesejahteraan umat Islam justru berasal dari masjid (Diskusi Kelompok Lokakarya
MPK UGM, 2003: 38). Masjid merupakan ajang untuk mengumumkan hal-hal penting
terutama berkaitan dengan hidup dan kehidupan umat Islam. Persoalan suka dan
duka, peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar masjid diberitahukan kepada
masyarakat melalui masjid. Masjid juga berfungsi dalam hal pendidikan dan
penerangan untuk masyarakat serta merupakan tempat belajar bagi semua orang
yang akan belajar dan mendalami agama.Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup,
semua pertanyaan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, agama maupun masalah
hukum langsung dilontarkan dan dicarikan jawabannya secara langsung oleh
beliau, maka ketika itu belum diperlukan kepustakaan Islam.
Asas
Islam didalamnya mengandung kepustakaan, hal ini dapat dilihat pada waktu
turunnya wahyu yang pertama yaitu surat Al Alaq ayat 1-5, artinya: Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah Yang mengajar
manusia dengan perantaraan kalam Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya (Departemen Agama, 1989: 1079). Ayat tersebut mengandung makna
bahwa tempat bersandar kepustakaan adalah membaca dan menulis, tanpa menulis
maupun membaca buku-buku tidak pernah ada. Membaca dan menulis merupakan
pertanda bagi lahirnya kepustakaan Islam sesudah nabi wafat. Kitab yang pertama
dan utama dalam Islam adalah kitab suci Al Quran.
Kitab
yang kedua adalah As Sunnah (Al Hadits). Kitab-kitab yang ditulis setelah
AlQuran dan As Sunnah memiliki sifat menjelaskan, membahas, memberi penafsiran,
mengolah, menumbuhkembangkan, dan meneruskan kedua kitab tersebut. Kepustakaan Islam
adalah pusat pendidikan, pengajaran, dandakwah Islam. Pada waktu Nabi Muhammad
saw masih hidup, perpustakaan belum tersedia,tetapi secara keseluruhan
berdasarkan pada wahyu ertama sebagaimana ermaktub dalam Al Quran. Mereka yang
berkeinginan mengembangkan ilm pengetahuan dan memperdalam ilmu,maka masjid
merupakan perpustakaan sekaligus sebagai gudang ilmu (Gazalba, 1975: 119).
Masjid
berfungsi sebagai tempat sosial, yang dipergunakan seperti hotel bagi seseorang
sedang mengadakan perjalanan (musafir),hal itu juga pernah dialami oleh seorang
budak wanita yang baru dibebaskan, karena tidak memiliki rumah kemudian ia
mendirikan kemah di halaman masjid (Gazalba, 1975: 121). Orang-orang di dalam
masjid mengumandangkan ayat-ayat AlQuran dengan suara merdu, juga
diperdengarkan lagu-lagu yang berciri khas Islami.
Masjid
berasal dari istilah sajada, yasjudu yang mengandung arti bersujud atau
bersembahyang. Masjid merupakan rumah Allah (Baitullah), sehingga orang yang
masuk ke masjid diperintahkan shalat sunnah tahiyatul masjid (menghargai
masjid) sebanyak dua rakaat. Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud ra,: Jika seseorang memasuki masjid jangan dahulu
duduk sebelum mengerjakan shalat dua rakaat (Tim Penulis Ensiklopedi Islam,
1997: 169). Kata masjid (bentuk mufrad/tunggal) dan masajid (bentuk jamak)
banyak didapat di dalam Al Quran, misal: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
indah di setiap memasuki masjid… (Al Quran surat Al Araf ayat 31). Dan siapakah
yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah di
dalam masjid-masjidNya dan berusaha untuk merobohkannya?…. (Al Quran surat Al
Baqarah ayat 114). Hanyalah yang memakmurkan masjid- masjid Allah ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan
sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun)selain kepada
Allah….. (Al Quran surat At Taubah ayat 18). Dan sesungguhnya masjid-masjid itu
adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun didalamnya
disamping (menyembah) Allah(Al Quran surat Al Jin ayat 18). (Departemen Agama,
1989: 225,31, 280, 985). Masjid pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad saw
di Madinah, yaitu pada tahun 622 bulan Rabiulawal tahun I Hijriyah, bertepatan
dengan awal mula Nabi Muhammad saw bertempat tinggal di Madinah, masjid
tersebut adalah masjid Madinah (Masjid Nabawi), adalah masjid utama ketiga
sesudah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa.
Sejarah
pertumbuhan bangunan masjid berkaitan erat dengan perkembangan daerah Islam dan
timbulnya kota-kota baru. Pada waktu awal tumbuh kembangnya Islam ke berbagai
negara, umat Islam bertempat tinggal di tempat yang baru, dengan menggunakan
sarana masjid sebagai ajang untuk kepentingan sosial. Masjid adalah hasil
budaya umat Islam dalam bidang teknologi konstruksi yang sudah diawali semenjak
awal mula dan merupakan corak khas negara atau Kota Islam (Tim Penulis
Ensiklopedi Islam, 1997: 169-171). Masjid juga salah satu bentuk
pengejawantahan tumbuhnya kebudayaan Islam yang demikian penting.Bentuk
bangunan masjid juga menggambarkan Allah (Sang Pencipta) serta merupakan
pertanda tingkat tumbuhkembangnya kebudayaan Islam.
Konstruksi
masjid yang indah dan mempesonakan dapat ditemukan di Spanyol, India,
Suria,Kairo, Baghdad serta beberapa daerah di Afrika juga merupakan pertanda
sejarah monumen umat Islam yang pernah mengalami zaman keemasan pada bidang
teknologi konstruksi, seni dan ekonomi. Seni arsitektur yang demikian indah
kelihatan dalam berbagai masjid berada diseantero dunia tidak timbul secara
mendadak, namun melalui proses pertumbuhan secara tahap demi tahap. Diawali
dari konstruksi bangunan yang sederhana sampai pada bentuk bangunan yang
sempurna, terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seni arsitektur
masjid tidak terlepas dari pengaruh seni arsitektur Arab, Persia, Byzantium,
India, Mesir, dan Gothik. Bangunan dan ciri khas arsitektur masjid, semenjak
zaman para khalifah sampai saat ini terdapat perbedaan antara satu dengan yang
lainnya, tetapi secara keseluruhan dilandasi adanya jiwa ketauhidan dan
perwujudan rasa cinta dan kasih sayang kepada Allah SWT.
II.1.4 Nilai-Nilai Kebudayaan Islam
Bentuk kebudayaan yang sangat penting dan perlu
memperoleh perhatian besar dalam kehidupan sosial, terutama dalam kehidupan
masyarakat akademisi, masyarakat intelektual, yang mendorong lahirnya
pemikiran-pemikiran intelektual muslim adalah:
1. Berorientasi
pada pengabdian dan Kebenaran Ilahi
Tujuan penciptaan manusia berdasarkan
firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat: 56, hanyalah untuk beribadah, mengabdi
kepada Allah. Karena itu seluruh aktivitas manusia dalam kehidupan ini harus
berorientasi pada pengabdian kepada Allah. Untuk menciptakan nilai pengabdian
tersebut, manusia harus bertitik tolak pada kebenaran yang ditunjukkan oleh
Allah. Dalam QS. Al-Baqarah: 147, Allah berfirman: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu.
2. Berpikir
Kritis dan Inovatif
Berpikir kritis adalah berpikir secara
obyektif dan analitis, sedangkan berpikir inovatif adalah berpikir ke depan
untuk menemukan pemikiran-pemikiran baru. Berpikir kritis dan inovatif inilah
yang telah menghantarkan intelektual Islam pada keemasannya, golden age, dalam
berbagai disiplin ilmu.
3. Bekerja
Keras
Manusia adalah makhluk terbaik yang
dianugerahi potensi besar dalam bentuk akal-budi, dan seluruh aktitvitas
kehidupan manusia dinilai oleh Allah. Anugerah tersebut harus difungsikan secara optimal. Karena itu
dalam QS. Al-Qashash: 77, Allah memerintahkan manusia berusaha meraih
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, dan dalam QS. Yusuf: 87, Allah melarang
berputus asa akan rahmat yang telah Allah anugerahkan, karena putus asa itu
adalah sifat orang kafir.
4. Bersikap
Terbuka
Sikap tebuka berarti mau menerima
masukan dan kebenaran yang datang dari orang lain, siapapun dia, dan apapun
posisinya. Karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memperhatikan
substansi perkataan orang dan bukan siapa orang yang mengatakannya. Kemajuan
akan lebih mudah dicapai dengan sikap terbuka, serta memanfaatkan pemikiran dan
kemajuan yang dicapai orang lain, sepanjang tetap sejalan dengan nilai-nilai
kebenaran yang ditetapkan Allah.
5. Jujur
Dalam kehidupan intelektual, kejujuran
mutlak diperlukan, baik dalam bentuk pengakuan terhadap kebenaran pemikiran
orang lain, maupun dalam bentuk pengakuan akan keberadaan diri pribadi.
Kejujuran akan membimbing manusia dalam proses penemuan kebenaran dan
mengemukakan kebenaran secara obyektif. Kejujuran menghindarkan timbulnya
kesalahan-kesalahan yang merugikan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW
mengingatkan, kebohongan (sikap tidak jujur) merupakan pangkal terjadinya dosa.
6. Adil
Adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Adil menunjukkan sikap yang proporsional dalam mengambil keputusan
dalam berbagai persoalanyang berkait dengan banyak pihak yang berkepentingan.
Sekalipun sikap adil pada umumnya berkaitan dengan proses peradilan, tetapi
adil diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan. Karena itu, dalam QS. An-Nahl:
90, Allah memerintahkan berlaku adil, berbuat kebijakan, memberi kepada kaum
kerabat, melarang berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.
7. Tanggung
Jawab
Tanggungjawab berarti kesediaan
menanggung segala resiko atau konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukan.
Setiap perbuatan memiliki konsekuensi baik atau buruk. Hal itu bergantung pada
substansi perbuatannya . oleh karena itu, dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah
mengingatkan, bahwa setiap manusia akna mendapat pahala sebagi balasan (dari kebijakan) yang dilakukannya, dan
mendapat siksa sebagai balasan (dari kejahatan) yang dilakukannya.
8. Ikhlas
Ikhlas berarti murni, bersih dari segala
unsur yang mengotori atau mencemari niat seseorang untuk berbuat sebagai wujud
pengabidan dalam ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, ikhlas dalam niat
selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah, seperti firman Allah dalam QS.
Al-Bayyinah: 5, Dan mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus ...
II.2 Masyarakat madani
II.2.1
Pengertian masyarakat madani
Menurut Prof.
Nafsir Alatas, Masyarakat Madani berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua
kata yaitu musyarakah dan madinah. Musyarakah yang berarti pergaulan atau
persekutuan hidup manusia dan madinah yang berarti kota, atau “tamaddun” yang
berarti peradaban. Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan,
dan teknologi.
Allah
SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S.
Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
II.2.2
Konsep masyarakat madani
Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengIslaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali
mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia
oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil societydalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari
sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali
menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami
sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John
Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat
sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan
ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Masyarakat madani
secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah tersentuh oleh peradaban maju
atau disebut juga civil society (masyarakat sipil). Pada zaman Yunani terdapat
negara-negara kota seperti Athena dan Sparta disebut Sivitas Dei, suatu kota ilahi
dengan peradaban yang tinggi. Masyarakat beradab lawan dari masyarakat
komunitas yang masih liar.
Adapun masyarakat
madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah s.a.w yang artinya juga sama
dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru (maju-, lawan
dari masyarakat madni adalah masyarakat atau komunitas yang masih mengembara
yang disebut badawah atau pengembara (badui).
Dunia barat mengalami
kegagalan dalam menghadapi pemecahan ketegangan antara pusat keagamaan (gereja) yang sarat dengan perbuatan magis
religius , upacara-upacara ritual, takhyul dan lain-lainnya dengan kaisar yang
penuh dengan martabat duniawi (kekuasaan) kekuatan dan benda-benda kehidupan
sekuler, keduanya dengan Herarchi yang sentralistik (gereja dan kerajaan) dengan
arus reformasi disekitarnya berakhir pada jalan buntu (Teori Dua Pandang)
pimpinan gereja dengan masalh kerohaniannya dan kaisar denga urusan kekuasaan
dunianya, kebuntuan ini melahirkan Civil Society yang membebaskan diri dari
dari kekuatan pengaruh gereja dan tidak merasa tertekan oleh kekuasaan kaisar
(Monorki Obsulut). Mereka sebagai warga masyarakt sipil membangun solidaritas
umum yang disepakati bersama dalam kehidupan bersama sebagai warga Civis. Jalan
buntu ituah melahirkan Sivil Society. Di negeri barat sesudah Revolusi Prancis
tahun 1784 yang bertumpu dan bertindak pada sekularisasi (secularisme) yaitu
penduniaan segala masalah kehidupan dan cita-cota kemasyarakatan dan bersandar
pada etika Hedonisme yaitu kewajiban yang bersendi pada benda keduniaan
semata-mata. Jadi secara jelas menunjukkan bahwa Civil Society di negara barat
itu berinduk pada sekularisme dan sekulerisasi segala nilai-nilai kehidupan
dalam masyarakat.
Sementara masyarakat
Islam memiliki konsep (doktrin) yang konkrit untuk menciptakan kondisi
masyarakat Islami. Islam bukan sekedar agama yang memiliki konsep ajaran
spritualis (individual) semata, letaknya kemajemukan agama Islam karena
menyandang ajaran pada semua aspek kehidupan manusia baik vertikal horizontal.
II.2.3
Masyarakat madani dalam sejarah
Ada dua
masyarakat dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1)
Masyarakat Saba’, yaitu
masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2)
Masyarakat Madinah setelah
terjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam
dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus
dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat
untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan
bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya.
II.2.4
Karakteristik masyarakat madani
Secara umum masyarakat yang beradab berciri;
kemanusiaan, saling menghargai sesama manusia sebagai makhluk Ilahi dalam
kehidupan bersama dalam masyarakat yang warga (civitasnya) pluralistik,
memiliki berbagai perbedaan akan tetapi mengembangkan kehidupan individu yang
demokratis, pemimpin yang mengayomi warga, masyarakat merasa dilindungi oleh
sesama warga karena penghargaan hak-hak dan kewajiban masing-masing.
Masyarakat ideal
menurut Islam adalah masyarakat yang taat pada aturan Ilahi yang hidup dengan
damai dan tenteram yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Dalam Al-Qur’an kondisi
masyarakat seperti itu digambarkan dengan “baldatun Tayyibun Warabbun Gafur.”
Negara yang baik, yang berada dalam lindungan ampunan-Nya. Realisasi dari masyarakat ideal tersebut pada
masa Nabi Muhammad s.a.w. dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Nabi
Muhammad s.a.w. dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Madinah, dimana
masyaraktnya memberikan kepercayaan dan mewujudkan ketaatan pada kepemimpinan
Rasulullah s.a.w. Hidup dalam kebersamaan dan Al-Qur’an sebagai landasan
hidupnya.
Masyarakat madani dalam
pandangan Islam adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang maju dalam penguasaan iptek. Karena itu dalam sejarah filsafat
Islam dikenal istilah Madinah atau polis
yang berarti kota yaitu masyarakat yang berperadaban. Masyarakat madani yang
menjadi sentral idealisme yang diharapakan oleh masyarakat seperti yang
tercantum dalam Q.S. Saba’/34:15. Masyarakat yang sejahtera, bahagia itulah
yang oleh Allah dijadikan negara ideal bagi umat Islam dimana pun dan yang
hidup di abad manapun, mempunyai cita-cita untuk hidup dalam negara yang baik
dan sejahtera, bertaqwa kepada Allah s.w/t.
Piagam Madinah sebagai
rujukan pembinaan masyarakat madani, yang merupakan perjanjian antara Rasul
beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan kaum aus
dan khazraj yang beragama watsani. Perjanjian Madinah ini berisi kesepakatan
ketiga unsur masyarakat utnuk saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian
dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan
rasul sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusannya dan memberi
kebebasan bagi penduduk untuk memeluk agama sesuai denga ajaran agama yang
dianutnya.
Masyarakat Madani
sebagai masyarakat yang paling ideal memiliki identitas khusus, yaitu:
berTuhan, damai, tolong-menolong, toleran, keseimbangan antara hak dan
kewajiban sosial, berpandangan tinggi dan berakhlak mulia.
II.2.Perbedaan
masyarakat madani dan civil society
Antara
Masyarakat Madani dan Civil society
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah
yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik
dari subtansi civil society lalu
membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran
atas pembentukan civil society di
masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya.
Perbedaan
antara civil society dan masyarakat
madani adalah civil society merupakan
buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans;
gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai
moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat
madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini
Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka,
egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang
bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering
diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia
berasal dari kata civil society atau
masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley
dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the
sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the
market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
Pada
kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani
sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah
secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi
masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan
mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat
sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada
sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat
sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang
sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para
sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan
faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan
sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama
kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih.
Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani
tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan
Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di
Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan
syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat
madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen
usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam
setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat
madani adalah Alquran.
Meski
Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun
tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan
pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual,
sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan
rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di
Madinah.
Prinsip
terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta
para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan
hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap
optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang
dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari
karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau
kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah
mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem
sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis
seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat
itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
II.3 Umat Islam dalam tatanan dunia global menuju masyarakat
madani
Dengan pesatnya perkembangan sains,
teknologi, dan informasi, maka sekarang ini sebenarnya sudah tidak ada lagi
dominasi peradaban timur dan atau peradaban barat. Yang sekarang ini terjadi
adalah siapa yang menguasai sains, teknologi, dan informasi, maka merekalah
yang akan mempengaruhi dan menentukan arah perjalanan masyarakat global. Maka
yang urgent untuk diupayakan untuk diraih dan diwujudkan oleh umat islam ialah
adanya kemampuan yang berkualitas tinggi dari umat sehingga memiliki kemampuan
untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara sehat dalam pluralisme cultural masyarakat global.
Tentu yang
menjadi tantangan kita kedepan ialah bagaimana agar umat Islam memenangkan
persaingan dan penguasaan informasi global itu. Bagi umat Islam, menurut
Ziauddin Sardar (1988) bahwa informasi hanya akan berarti bila ia berada
didalam kerangka pengetahuan tentang masyarakat dan melahirkan keselarasan
hidup. Dan capaian keselarasan hidup itu hanya akan mungkin bila masyarakat
muslim menjadi produk dan pengguna dari informasi itu sendiri.
Dalam pergumulan
peradaban itulah terjadi persaingan dan perlombaan bahkan pertarungan untuk
saling menjatuhkan dan memojokkan, bukannya saling melengkapi dan memperbaiki.
Disini, umat Islam, dari segi dasar ajaran mengenai peradaban itu tidak
mempunyai masalah, tetapi masalahnya ialah seberapa jauh kemampuan umat Islam
merespon dan merekayasa masyarakat dunia agar sesuai dengan ajaran yang
diyakininya.
Dengan semangat fistabiq al-khyrat dan khayra ummat maka umat Islam harus
mempertaruhkan nilai-nilai ajaran yang diyakininya. Adanya pertarungan
nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh masyarakat global, menurut Spranger
memang setiap manusia dituntut secara moral memiliki tanggung jawab untuk
mempertanggungjawabkan. Itulah sebabnya, gaya hidup manusia dalam
memperjuangkan itu semua dikategorikan oleh para ahli ke dalam enam tipe
dominan yakni:
1. Manusia
teoretis. Nilai utama bagi manusia teoretis ialah pencarian kebenaran. Karena
upaya ini melibatkan penggunaan proses nasional, kritis, dan empiris. Yang
termasuk tipe ini adalah pada umumnya kaum intelektual
2. Manusia
ekonomis. Tipe ideal manusia ekonomis ialah menilai apa yang berguna dan
mencurahkan perhatiannya pada dunia bisnis atau peristiwa-peristiwa praktis yang
berhubungan erat produksi, pemasaran, atau konsumsi barang. Perhatian tipe ini
umumnya terletak pada kekayaan dan kepemilikan harta.
3. Manusia
estetis. Tipe manusia estetis selalu memandang bahwa nilai yang tertinggi ialah
bentuk dan harmoni. Boleh jadi artis yang kreatif atau tidak, tetapi minatnya
adalah pengalaman artistic atau estetis dalam kehidupannya. Manusia estetis
selalu memandang manusia ekonomis dan teoretis tidak aspiratif dan bahkan
dianggapnya bersikap destruktif pada nilai-nilai estetis.
4. Manusia
sosial. Tipe manusia ini senantiasa
meletakkan nilai utamanya pada afiliasi dan cinta. Manusia sosial sering
menilai orang lain sebagai individu, cenderung ramah dan simpatetis. Mereka
seringkali memandang manusia teoretis dan manusia ekonomis sebagai
“manusia-manusia yang dingin” dan tidak manusiawi.
5. Manusia
politis. Tipe manusia seperti ini senantiasa menempatkan nilai utama
kehidupannya pada kekuasaan. Kegiatannya mungkin tidak terbatas pada pengertian
politik dalam arti sempit melainkan perhatian umumnya dalam pergaulan selalu
ada kekuasaan, pengaruh, dan kompetisi aktif untuk mempertahankan dan memperbesar
kekuasaannya.
6. Manusia
religious. Tipe manusia religious adalah menjadikan kesatuan (unity) sebagai
nilai yang tertinggi. Ia adalah manusia mistikal yang selalu berusaha memahami
dan menggabungkan dirinya dengan kosmos dan menemukan pengalaman nilainya yang
lebih tinggi melalui falsafah keagamaan yang diyakininya.
Dengan
demikian, untuk menuju masyarakat madani maka perlu kiranya memperhatikan
keterkaitan berbagai elemen-elemen dasarnya yaitu (1) adanya semangat hijrah dan tajdid dari semua pihak secara menyeluruh, (2) adanya political will dari pihak penguasa, (3) keteladanan
dan kepeloporan penguasa, (4) memiliki kemampuan untuk menggali informasi dan
menerapkan ajaran Al-Quran, (5) adanya penguasaan dan memajukan sains dan
teknologi serta (6) seluruh bidang kehidupan umat diupayakan semaksimal mungkin
digali dari nilai-nilai Islam. Sebab bukankah kitab suci Al-Qur’an itu
diturunkan oleh Allah kepada umat manusia jauh sebelumnya yang kini telah
melampaui batas-batas imajinasi, kemampuan nalar serta ambisi-adembisi manusia
itu sendiri.
Dan
dalam kerangka itu pulalah karenanya, Al-Qur’an dipersiapkan Allah agar ia
dijadikan panduan (hudan) oleh
manusia untuk menata sebuah kehidupan yang berperadaban yang sarat akan
nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan.
II.4
Potensi umat Islam dan peranannya dalam dunia global demi mewujudkan masyarakat
madani
Dalam sejarah Islam,
realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa
Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan
seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan
bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul.
Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu
Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Dalam kontek masyarakat
Indonesia, di mana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat Islam untuk
mewujudkan masyarakat madani sangat besar. Kondisi masyarakat Indonesia sangat
bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat Islam. Peranan umat Islam
itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang
lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia,
memberikan ruang kepada umat Islam untuk menyalurkan aspirasinya secara
konsturktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang
masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi umat Islam
Indonesia terhadap karakter dasarnya, untuk mengimplementasikan ajaran Islam
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun
umat Islam secara kuintatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah,
sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar juga
masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang
bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas yang tinggi,
korupsi yang terjadi di semua sektor, dan kurangnya rasa aman. Jika umat Islam
Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa
Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.
Dalam sejarah Islam, realisasi
keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah.
Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama
ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali,
al-Farabi, dan yang lain.
1. Kualitas SDM Umat Islam
Firman
Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang yang fasik.”
Dari ayat di
atas sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang
terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek
kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam.
Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif,
potensial, bukan riil.
2. Posisi Umat Islam
SDM
umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu
dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di
Indonesia jumlah umat Islam ±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah,
juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku
di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum
dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan
akhlak Islam.
III.
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Kebudayaan
Islam di masa modern ini mengalami kemunduran yang pesat. Konsep mayarakat
madani sebagai sosok masyarakat intelektual yang dibangun oleh Rasulullah SAW
sendiri pun mulai memudar dan tergantikan oleh konsep civil society yang dikembangkan oleh pemikiran-pemikiran barat.
Pada tatanan global seperti saat ini, umat Islam dituntut untuk menunjukkan
jati dirinya sebagai kaum intelektual yang terus memperjuangkan peradabannya
yang telah tergerus zaman. Dengan segala potensi-potensi yang dimiliki seharusnya
konsep peradaban yang madaniah bisa terwujud secepatnya, tetapi karena
kesadaran dari kaum muslimin yang rendah dan adanya sikap yang enggan
menampakkan dengan jelas jati dirinya di lingkungan sekitar sehingga peradaban
yang didambakan masih terlalu sulit diciptakan.
III.2 Saran
Umat
Islam seharusnya memanfaatkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya untuk
menata sebuah kehidupan global yang sesuai dengan konsep masyarakat madani,
bukannya malah terjerumus dan kehilangan kepribadian sebagai suatu umat yang
intelek dan beradab namun tetap melakukan adaptasi terhadap perkembangan agar
umat Islam tidak tertinggal dan terbelakang.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Muntaha dan Abdul Mun’im Saleh. 1989. Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta
: P3M
Fauzi, Muhammad. 2007. Agama dan Realitas Sosial : Renungan & Jalan Menuju Kebahagiaan. Jakarta
: PT Rajagrafindo Persada
Hakim, Abdul ‘Dubbun’, dkk. 2006. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan
yang Membebaskan : Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta :
Penerbit Buku Kompas
Rais, M. Amien. 1989. Cakrawala Islam. Bandung : Mizan
Sardar, Ziauddin. 1988. Information on the Muslim World: A Strategy for The Twenty-First
Century. London-New York : Manzell Publishing Limited
Woodward, Mark R. 1996. Toward A New Paradigma: Recent Developments in Indonesians Islamic
Thought. Arizona : Arizona State University
Langganan:
Postingan (Atom)