Senin, 16 Maret 2015

makalah karbohidrat


dunia Islam dan tatanan masyarakat madani

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“DUNIA ISLAM DAN TATANAN MASYARAKAT MADANI”


Disusun oleh :
KELOMPOK V
IMA RAHIMA HIDAYATI (G11114324)
RINY REZKIANANDA (G11114326)
FAIZAL ABDI MUSTAMA (G11114328)
NUR SEPTYARINI JUSTA (G11114329)
ANISA RAHMAWATI (G11114331)
LISTIAWATI (G11114332)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini guna memenuhi tugas  mata kuliah Agama Islam.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang dunia Islam dan tatanan masyarakat madani, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Hasanuddin. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,  kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Wassalam.

Makassar, 16 November 2014


Penulis



                                                                                                                                                I.            PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

ISLAM, yang daya ‘perlunya selalu realistis, yang relevan abadi dan yang maqam ruang waktunya senantiasa aktual, kini ditatap oleh para pemeluknya dengan rasa malu, rasa bersalah dan rasa penasaran kepada diri sendiri. Kaum muslimin dewasa ini amat sibuk berkaca, menatapi wajahnya dicermin, baik untuk sekadar bersolek maupun buat merenung.
Ada rasa asing kepada diri sendiri: sebuah arus besar membawa mereka, berabad lamanya, entah ke mana. Maka Alhamdulillah untuk rasa asing itu. Kata Sang Nabi pembawa agama pamungkas ini, Islam melangkah pertama dalam dan dengan keasingan kemudian di tengah perjalanannya ia akan berjumpa dengan keasingan demi keasingan.
Dewasa ini, sebagai akibat negatif globalisasi, nyaris umat manusia di seluruh dunia sedang dilanda kehampaan spiritual yang luar biasa. Perkembangan kemajuan yang begitu cepat, mengakibatkan masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh peradaban modern, di manapun mereka berada.
Pandangan mayarakat modern yang bertumpu pada prestasi iptek, telah meminggirkan dimensi transcendental. Akibatnya, kehidupan masyarakat modern menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental yaitu aspek spiritual.
Diakui memang, agama dan pengetahuan adalah dua hal yang memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Agama adalah semesta rujukan dimana manusia dapat menemukan makna dan inti kehidupan, sedangkan pengetahuan adalah media yang dapat mengurai dan menjelaskan keunikan dan kerumitan alam semesta.
Seiring dengan berkembangnya wawasan, manusia akan lebih dapat memilah-milah bagian-bagian yang positif dan negatif untuk diri pribadi dan orang lain. Dengan peradaban manusia yang semakin modern maka pola pikir manusia akan lebih berkembang. Apabila dikaitkan dengan kebudayaan Islam maka manusia merupakan suatu fungsi yang di gunakan untuk meneruskan kebudayaan Islam dimasa lalu untuk menjalankan peradaban modern. Kebudayaan Islam digunakan sebagai pedoman agar manusia tidak terjerumus dalam hal-hal yang negatif dan manusia dapat memahami betapa pentingnya mempelajari tentang kebudayaan Islam agar kita sebagai umat Islam dapat tahu betul bagaimana sebenarnya kebudayaan Islam yang sesungguhnya.
Namun persoalannya menjadi problematis, karena masyarakat Islam saat ini berada pada situasi kemodernan atau era globalisasi. Di satu sisi, masyarakat Islam dituntut untuk mampu beradaptasi dengan budaya yang berkembang. Karena sikap budaya yang ekstrover, menyebabkan umat Islam tertinggal dan terbelakang. Dengan demikian, umat Islam dituntut untuk merumuskan satu doktrin ajaran agama yang mampu menetapkan sifat normative di satu sisi, namun di sisi lain, mampu melakukan jawaban atas tantangan baru yang cepat.
Dalam kondisipada tatanan global seperti saat ini, masyarakat sering menyalahartikan antara civil society dengan masyarakat madani yang sebenarnya merupakan padanan kata namun memiliki makna yang jauh berbeda. Peradaban maju saat ini lebih dikaitkan dengan civil societydan melupakan konsep masyarakat madani yang dibangun sendiri oleh Nabi Muhammad SAW dan seharusnya menjadi kiblat kemajuan peradaban dunia.

I.2 Rumusan masalah

Dari latar belakang yang telah dirumuskan di atas, maka kami mengangkat beberapa poin rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini, diantaranya:
·         Bagaimana kebudayaan-kebudayaan Islam?
·         Apa perbedaan masyarakat madani dengan civil society?
·         Bagaimana umat Islam dalam tatanan dunia global menuju masyarakat madani?
·         Bagaimana potensi umat Islam dan peranannya dalam dunia global untuk menciptakan masyarakat madani?

I.3 Manfaat penulisan

·         Mengetahui kebudayaan-kebudayaan Islam yang dapat dijadikan bahan pembelajaran.
·         Dapat membedakan antara masyarakat madani dengan civil societydan dapat menerapkan perilaku dari masyarakat madani dalam kehidupan sehari-hari.
·         Mengenal kondisi umat Islam tatanan dunia global dalam proses menuju masyarakat madani.
·         Menerapkan perilaku umat Islam yang sesui dengan kaidah-kaidah agar menciptakan masyarakat madani.




                                                                                                                                                II.            PEMBAHASAN

II.1 Kebudayaan dan Peradaban Islam

II.1.1Pengertian Kebudayaan Islam

Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dandaya. Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan. Daya mengandung makna tenaga, kekuatan, kesanggupan. Jadi kebudayaan berarti kumpulan segala usaha dan upaya manusia yang dikerjakan dengan mempergunakan hasil pendapat untuk memperbaiki kesempurnaan hidup (Sidi Gazalba, 1998).
A.I Kroeber dan Clide Kluckhan telah mengumpulkan kurang lebih 161 defenisi tentang kebudayaan (Musa Asy’arie/1992-1993). Secara garis besarnya defenisi kebudayaan sebanyak itu dikelompokkan ke dalam enam kelompok sesuai dengan tinjauan dan sudut pandang masing-masing pemuat definisi.
1.      Kelompok pertama, menggunakan pendekatan deskriptif dengan menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya seperti definisi yang dipakai oleh Tylor bahwa kebudayaan itu ialah keseluruhan yang amat kompleks meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.
2.      Kelompok kedua, menggunakan pendekatan historis dengan menekankan pada warisan sosial dan tradisi kebudayaan seperti definisi yang dipakai oleh Pork dan Burgess yang menyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah sejumlah totalitas dan organisasi serta warisan sosial yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.
3.      Kelompok ketiga, menggunakan pendekatan normative seperti defenisi yang dipakai oleh Rolph Linton (Linton/1945:27) yang menegaskan bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari, mereka miliki, kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4.      Kelompok keempat, menggunakan pendekatan psikologi yang di antaranya menekankan pada aspek penyucian diri (adjustment) dan proses belajar seperti defenisi yang dipakai oleh Kluckhon yang menegaskan bahwa kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses suatu masyarakat.
5.      Kelompok kelima, menggunakan pendekatan structural dengan menekankan pada aspek pola dan organisasi kebudayaan seperti defenisi yang dipakai oleh Turney yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan baik yang material maupun nonmaterial.
6.      Kelompok keenam, menggunakan pendekatan genetik yang memandang kebudayaan sebagai suatu produk, alat-alat, benda-benda ataupun ide dan symbol. Termasuk dalam kelompok ini adalah defenisi yang dibuat oleh Bidney yang menyatakan bahwa kebudayaan dapat dipahami sebagai proses dinamis dan produk dari pengolahan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian akhir individu dan masyarakat.
Dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang definisi kebudayaan menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan suatu persoalan yang sangat luas. Namun esensinya adalah bahwa kebudayaan itu melekat dalam diri manusia. Artinya bahwa manusialah sebagai pencipta kebudayaan itu. Dari penjelasan di atas, kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Secara umum kebudayaan adalah istilah yang menunjukkan segala hasil karya manusia yang berkaitan erat dengan pengungkapan bentuk. Kebudayaan merupakan wadah, di mana hakikat manusia dengan pengembangan diri (kebudayaan) tersebut terjalin hubungan, korelasi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya, kebudayaan sering dipegaruhi oleh banyak factor, seperti tempat, waktu, dan kondisi masyarakat, sehingga lahir suatu bentuk kebudayaan khusus, seperti kebudayaan Islam, kebudayaan Timur, dan kebudayaan Barat. (Ensiklopedi Indonesia: 1705). Kebudayaan lahir dari olah akal budi, jiwa atau hati nurani manusia. Bentuk kebudayaan tersebut selau mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang diyakini, dirasa, dan diharapkan memberikan kebaikan dalam hidup. Oleh karena itu, kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai tersebut juga disebut peradaban. Kebudayaan atau peradaban yang dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam disebut kebudayaan atau peradaban Islam.
Dalam ajaran Islam, aktivitas kehidupan manusia dalam bentuk olah akal-budi nuraninya harus dibimbing oleh wahyu. Akal budi nurani manusia memiliki ketebatasan dan dipengaruhi oleh pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun masyarakat. Sekalipun aktivitas akal budi nurani manusia dalam bentuk kebudayaan atau perdaban tersebut diyakini atau diharapkan  memberikan kebaikan bagi masyarakat yang melahirkan kebudayaan-peradaban tersebut, dalam pandangan masyararkat lain belum tentu dinilai baik. Oleh karena itu, sejak awal manusia dilahirkan, Allah Yang Maha Tahu akan keterbatasan manusia menurunkan wahyu sebagai pembimbing arah olah akal budi nurani manusia tesebut, agar tidak berkembang dan melahirkan kebudayaan-peradaban yang bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan yang dianggap menguntungkan sekelompok masyarakat tertentu tetapi merugikan sekelompok masyarakat lainnya. Wahyu Al-Qur’an sebagai wahyu terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW menjadi petunjuk-pembimbing dan menjaga nilai-nilai universalitas kemanusiaan tersebut sekalipun memberikan toleransi perwujudan kebudayaan-peradaban khusus.
Al-Qur;an memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal, hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tak mungkin terlepas dari nilia-nilai kemanusiaan, namun bisa lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan Islam merupakan hasil olah akal budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia yang berlandaskan nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah akal budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.
Dalam perkembangannya perlu dibimbing wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Di sini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban Islam.
Kebudayaan itu akan terus berkembang, tidak akan pernah berhenti selama masih ada kehidupan manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas dan kreativitas manusia, baik dalam konteks hubungan dengan sesamanya, maupun dengan alam lingkungannya akan selalu terkait dengan kebudayaan orang lain. Di sini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk budaya dan makhluk sosial yang tidak akan pernah bisa hiduptanpa bantuan orang lain.
Allah mengutus para rasul dari jenis manusia dan kaumnya sendiri karena yang akan menjadi sasaran dakwahnya adalah umat manusia. Oleh sebab itu misi utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk memberikan bimbingan pada umat manusia agar dalam mengembangkan kebudayaannya tidak melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak.” Artinya Muhammad SAW mempunyai tugas pokok untuk membimbing mausia agar mengembangkan kebudayaannya sesuai dengan petunjuk Allah. Sebelum nabi diutus, bangsa Arab sudah cukup berbudaya tetapi budaya yang dikembangkannya terlepas dari nilai-nilai ketauhidan yang bersifat universal. Landasan pengembangan kebudayaan mereka adalah hawa nafsu.
Mengawali tugas kerasulannya, beliau meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam menyebar di luar jazirah Arab, kemudian tersebar ke seluruh dunia, maka terjadilah suatu proses yang panjang dan rumit yaitu asimilasi budaya-budaya setempat dengan nilai-nilai Islam yang kemudian menghasilkan kebudayaan Islam menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
Menurut M. Natsir, ada enam sumber kekuatan ajaran Islam. Untuk mencapai suatu kebudayaan bersifat local menjadi suatu peradaban yang universal yaitu:
·         Menghormati akal. Manusia muslim disuruh menggunakan akalnya untuk mengamati dan memikirkan keadaan alam. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an menyatakan betapa pentingnya pengembangan akal bagi kehidupan manusia. Dalam kaitan ini proses ijtihad menjadi penting bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia.
·         Kewajiban menuntut ilmu. Setiap muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.
·         Larangan taklid. Setiap orang dilarang mengikuti suatu perkara yang ia tidak mempunyai pengetahuan tentang itu meskipun datang dari para leluhurnya.
·         Mengambil inisiatif. Setiap muslim dikerahkan untuk mengambil inisiatif keduniaan yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat umum sekalipun bagi mereka yang tidak seagama, serta mengadakan barang-banrang yang tidak ada sebelumnya.
·         Menggunakan hak-hak keduniaan. Kaum muslimin disuruh mencari ridha Allah yang diterimanya atas nikmat yang diterimanya di dunia ini dan menggunakan hak-hak itu sesuai dengan aturan agama.
·         Aktualisasi nila-nilai Islam ke dalam kehidupan nyata kaum muslimin, dianjurkan untuk berhubungan dengan dunia luar, berinteraksi dengan bangsa-bangsa untuk saling bertukar ilmu pengetahuan.

II.1.2 Perkembangan Kebudayaan Islam

Perkembangan kebudayaan Islam mempunyai sejarah panjang dalam arti seluas-luasnya. Tradisi pemikiran di kalangan umat Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab sendiri, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang di sana, kedatangannya lengkap dengan tradisi keilmuannya. Sebab masyarakat Arab pra Islam belum mempunyai sistem pengembangan pemikiran secara sistematis.
            Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja sistem pendidikan dan pemikiran yang sistematis belum terselenggara karena ajaran Islam tidak diturunkan sekaligus. Namun demikian isyarat Al-Qur’an sudah cukup jelas meletakkan pondasi yang kokoh terhadap perkembangan ilmu dan pemikiran, sebagaimana terlihat pada ayat yang pertama diturunkan yaitu suatu perintah untuk membaca dengan nama Allah (Q.S. Al-Alaq/96:1). Dalam kaitan itu dapat dipahami mengapa proses pendidikan Islam berlangsung di rumah yaitu Darul Arqam. Ketika masyarakat Islam telah terbentuk, maka pendidikan Islam dapat diselenggarakan di masjid. Proses pendidikan pada kedua tempat tersebut dilakukan dalam lingkaran besar yang disebut Halaqah.
Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa yaitu masa klasik (650 sampai 1250 M), masa pertengahan (1250 sampai 1800 M) dan masa modern (1800 sampai sekarang).
            Pada masa klasik lahir para ulama madzhab seperti Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Malik. Sejalan dengan itu lahir pula para filosof muslim seperti Al-Kindi (801 M), seorang filosof pertama muslim. Di antara pemikirannya, ia berpendapat bahwa kaum muslim hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam.
            Selain Al-Kindi, pada abad itu lahir pula para filosof besar seperti Al-Rasi (865 M), Al-Farabi (870 M). Mereka dikenal sebagai pembangun agung sistem filsafat. Pada abad berikutnya lahir pula filosof agung Ibnu Miskawaih (930 M). Pemikirannya yang dikenal tentang pendidikan akhlak. Kemudian Ibnu Sina (1037 M), Ibnu Bajjah (1138 M), Ibnu Taufail (1147 M) dan Ibnu Rusyd (1126 M).
            Pada masa pertengahan yaitu tahun 1250-1800 M. Dalam catatan sejarah pemikiran Islam masa ini merupakan fase kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehinga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu dan dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.
            Sebagian pemikiran Islam kontemporer sering melontarkan tuduhan kepada Al-Gazali yang pertama menjauhkan filsaft dengan agama sebagaimana dalam tulisannya “Tahafutul Falasifah” (keracunan filsafat). Tulisan Al-Gazali dijawab oleh Ibnu Rusdi dengan tulisan “Tahafutul Tahaful” (keracunan di atas keracunan).
         Ini merupakan awal kemunduran ilmu pengetahuan dan filsfat di dunia Islam. Sejalan dengan perdebatan di kalangan para filosof muslim juga terjadi perdebatan di antara para furoqah (ahli fikih) dengan para ahli teologi (ahli ilmu kalam). Pemikiran yang berkembang saat itu adalah pemikiran dikotomis antara agama dengan ilmu dan urusan dunia dengan akhirat. Titik kulminasinya adalah ketika para ulama sudah mendekat kepada para penguasa pemerintahan, sehingga fatwa-fatwa mereka tidak lagi diikuti oleh umatnya.

II.1.3 Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam

Masjid biasanya dipahami oleh sebagian besar masyarakat merupakan rumah ibadah, terutama untuk shalat, padahal sebenarnya masjid memiliki fungsi yang demikian luas daripada sekedar untuk shalat. Masjid pada awal berdirinya belum berpindah dari fungsi yang utama yaitu untuk melakukan shalat, namun perlu diketahui bahwa masjid pada zaman Rasulullah saw dimanfaatkan sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam.
Nabi Muhammad saw menumbuhkembangkan agama Islam termasuk didalamnya mengajarkan Al Quran, Al Hadits, bermusyawarah untuk mufakat dalam usaha menyelesaikan berbagai macam persoalan umat Islam, membina sikap dasar umat Islam kepada orang-orang nonmuslim, sehingga segala macam ikhtiar untuk mengembangkan kesejahteraan umat Islam justru berasal dari masjid (Diskusi Kelompok Lokakarya MPK UGM, 2003: 38). Masjid merupakan ajang untuk mengumumkan hal-hal penting terutama berkaitan dengan hidup dan kehidupan umat Islam. Persoalan suka dan duka, peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar masjid diberitahukan kepada masyarakat melalui masjid. Masjid juga berfungsi dalam hal pendidikan dan penerangan untuk masyarakat serta merupakan tempat belajar bagi semua orang yang akan belajar dan mendalami agama.Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, semua pertanyaan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, agama maupun masalah hukum langsung dilontarkan dan dicarikan jawabannya secara langsung oleh beliau, maka ketika itu belum diperlukan kepustakaan Islam.
Asas Islam didalamnya mengandung kepustakaan, hal ini dapat dilihat pada waktu turunnya wahyu yang pertama yaitu surat Al Alaq ayat 1-5, artinya: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Departemen Agama, 1989: 1079). Ayat tersebut mengandung makna bahwa tempat bersandar kepustakaan adalah membaca dan menulis, tanpa menulis maupun membaca buku-buku tidak pernah ada. Membaca dan menulis merupakan pertanda bagi lahirnya kepustakaan Islam sesudah nabi wafat. Kitab yang pertama dan utama dalam Islam adalah kitab suci Al Quran.
Kitab yang kedua adalah As Sunnah (Al Hadits). Kitab-kitab yang ditulis setelah AlQuran dan As Sunnah memiliki sifat menjelaskan, membahas, memberi penafsiran, mengolah, menumbuhkembangkan, dan meneruskan kedua kitab tersebut. Kepustakaan Islam adalah pusat pendidikan, pengajaran, dandakwah Islam. Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, perpustakaan belum tersedia,tetapi secara keseluruhan berdasarkan pada wahyu ertama sebagaimana ermaktub dalam Al Quran. Mereka yang berkeinginan mengembangkan ilm pengetahuan dan memperdalam ilmu,maka masjid merupakan perpustakaan sekaligus sebagai gudang ilmu (Gazalba, 1975: 119).
Masjid berfungsi sebagai tempat sosial, yang dipergunakan seperti hotel bagi seseorang sedang mengadakan perjalanan (musafir),hal itu juga pernah dialami oleh seorang budak wanita yang baru dibebaskan, karena tidak memiliki rumah kemudian ia mendirikan kemah di halaman masjid (Gazalba, 1975: 121). Orang-orang di dalam masjid mengumandangkan ayat-ayat AlQuran dengan suara merdu, juga diperdengarkan lagu-lagu yang berciri khas Islami.
Masjid berasal dari istilah sajada, yasjudu yang mengandung arti bersujud atau bersembahyang. Masjid merupakan rumah Allah (Baitullah), sehingga orang yang masuk ke masjid diperintahkan shalat sunnah tahiyatul masjid (menghargai masjid) sebanyak dua rakaat. Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra,: Jika seseorang memasuki masjid jangan dahulu duduk sebelum mengerjakan shalat dua rakaat (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 169). Kata masjid (bentuk mufrad/tunggal) dan masajid (bentuk jamak) banyak didapat di dalam Al Quran, misal: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid… (Al Quran surat Al Araf ayat 31). Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah di dalam masjid-masjidNya dan berusaha untuk merobohkannya?…. (Al Quran surat Al Baqarah ayat 114). Hanyalah yang memakmurkan masjid- masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun)selain kepada Allah….. (Al Quran surat At Taubah ayat 18). Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun didalamnya disamping (menyembah) Allah(Al Quran surat Al Jin ayat 18). (Departemen Agama, 1989: 225,31, 280, 985). Masjid pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad saw di Madinah, yaitu pada tahun 622 bulan Rabiulawal tahun I Hijriyah, bertepatan dengan awal mula Nabi Muhammad saw bertempat tinggal di Madinah, masjid tersebut adalah masjid Madinah (Masjid Nabawi), adalah masjid utama ketiga sesudah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa.
Sejarah pertumbuhan bangunan masjid berkaitan erat dengan perkembangan daerah Islam dan timbulnya kota-kota baru. Pada waktu awal tumbuh kembangnya Islam ke berbagai negara, umat Islam bertempat tinggal di tempat yang baru, dengan menggunakan sarana masjid sebagai ajang untuk kepentingan sosial. Masjid adalah hasil budaya umat Islam dalam bidang teknologi konstruksi yang sudah diawali semenjak awal mula dan merupakan corak khas negara atau Kota Islam (Tim Penulis Ensiklopedi Islam, 1997: 169-171). Masjid juga salah satu bentuk pengejawantahan tumbuhnya kebudayaan Islam yang demikian penting.Bentuk bangunan masjid juga menggambarkan Allah (Sang Pencipta) serta merupakan pertanda tingkat tumbuhkembangnya kebudayaan Islam.
Konstruksi masjid yang indah dan mempesonakan dapat ditemukan di Spanyol, India, Suria,Kairo, Baghdad serta beberapa daerah di Afrika juga merupakan pertanda sejarah monumen umat Islam yang pernah mengalami zaman keemasan pada bidang teknologi konstruksi, seni dan ekonomi. Seni arsitektur yang demikian indah kelihatan dalam berbagai masjid berada diseantero dunia tidak timbul secara mendadak, namun melalui proses pertumbuhan secara tahap demi tahap. Diawali dari konstruksi bangunan yang sederhana sampai pada bentuk bangunan yang sempurna, terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seni arsitektur masjid tidak terlepas dari pengaruh seni arsitektur Arab, Persia, Byzantium, India, Mesir, dan Gothik. Bangunan dan ciri khas arsitektur masjid, semenjak zaman para khalifah sampai saat ini terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya, tetapi secara keseluruhan dilandasi adanya jiwa ketauhidan dan perwujudan rasa cinta dan kasih sayang kepada Allah SWT.

II.1.4 Nilai-Nilai Kebudayaan Islam

Bentuk kebudayaan yang sangat penting dan perlu memperoleh perhatian besar dalam kehidupan sosial, terutama dalam kehidupan masyarakat akademisi, masyarakat intelektual, yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran intelektual muslim adalah:
1.      Berorientasi pada pengabdian dan Kebenaran Ilahi
Tujuan penciptaan manusia berdasarkan firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat: 56, hanyalah untuk beribadah, mengabdi kepada Allah. Karena itu seluruh aktivitas manusia dalam kehidupan ini harus berorientasi pada pengabdian kepada Allah. Untuk menciptakan nilai pengabdian tersebut, manusia harus bertitik tolak pada kebenaran yang ditunjukkan oleh Allah. Dalam QS. Al-Baqarah: 147, Allah berfirman: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
2.      Berpikir Kritis dan Inovatif
Berpikir kritis adalah berpikir secara obyektif dan analitis, sedangkan berpikir inovatif adalah berpikir ke depan untuk menemukan pemikiran-pemikiran baru. Berpikir kritis dan inovatif inilah yang telah menghantarkan intelektual Islam pada keemasannya, golden age, dalam berbagai disiplin ilmu.
3.      Bekerja Keras
Manusia adalah makhluk terbaik yang dianugerahi potensi besar dalam bentuk akal-budi, dan seluruh aktitvitas kehidupan manusia dinilai oleh Allah. Anugerah tersebut  harus difungsikan secara optimal. Karena itu dalam QS. Al-Qashash: 77, Allah memerintahkan manusia berusaha meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, dan dalam QS. Yusuf: 87, Allah melarang berputus asa akan rahmat yang telah Allah anugerahkan, karena putus asa itu adalah sifat orang kafir.
4.      Bersikap Terbuka
Sikap tebuka berarti mau menerima masukan dan kebenaran yang datang dari orang lain, siapapun dia, dan apapun posisinya. Karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memperhatikan substansi perkataan orang dan bukan siapa orang yang mengatakannya. Kemajuan akan lebih mudah dicapai dengan sikap terbuka, serta memanfaatkan pemikiran dan kemajuan yang dicapai orang lain, sepanjang tetap sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah.
5.      Jujur
Dalam kehidupan intelektual, kejujuran mutlak diperlukan, baik dalam bentuk pengakuan terhadap kebenaran pemikiran orang lain, maupun dalam bentuk pengakuan akan keberadaan diri pribadi. Kejujuran akan membimbing manusia dalam proses penemuan kebenaran dan mengemukakan kebenaran secara obyektif. Kejujuran menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang merugikan. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan, kebohongan (sikap tidak jujur) merupakan pangkal terjadinya dosa.
6.      Adil
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil menunjukkan sikap yang proporsional dalam mengambil keputusan dalam berbagai persoalanyang berkait dengan banyak pihak yang berkepentingan. Sekalipun sikap adil pada umumnya berkaitan dengan proses peradilan, tetapi adil diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan. Karena itu, dalam QS. An-Nahl: 90, Allah memerintahkan berlaku adil, berbuat kebijakan, memberi kepada kaum kerabat, melarang berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.
7.      Tanggung Jawab
Tanggungjawab berarti kesediaan menanggung segala resiko atau konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi baik atau buruk. Hal itu bergantung pada substansi perbuatannya . oleh karena itu, dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah mengingatkan, bahwa setiap manusia akna mendapat pahala sebagi balasan  (dari kebijakan) yang dilakukannya, dan mendapat siksa sebagai balasan (dari kejahatan) yang dilakukannya.
8.      Ikhlas
Ikhlas berarti murni, bersih dari segala unsur yang mengotori atau mencemari niat seseorang untuk berbuat sebagai wujud pengabidan dalam ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, ikhlas dalam niat selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Allah, seperti firman Allah dalam QS. Al-Bayyinah: 5, Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus ...

II.2 Masyarakat madani

II.2.1 Pengertian masyarakat madani

Menurut Prof. Nafsir Alatas, Masyarakat Madani berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu musyarakah dan madinah. Musyarakah yang berarti pergaulan atau persekutuan hidup manusia dan madinah yang berarti kota, atau “tamaddun” yang berarti peradaban. Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.

II.2.2 Konsep masyarakat madani

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengIslaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil societydalam masyarakat muslim modern.
         Makna Civil society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Masyarakat madani secara harfiah berarti masyarakat kota yang sudah tersentuh oleh peradaban maju atau disebut juga civil society (masyarakat sipil). Pada zaman Yunani terdapat negara-negara kota seperti Athena dan Sparta disebut Sivitas Dei, suatu kota ilahi dengan peradaban yang tinggi. Masyarakat beradab lawan dari masyarakat komunitas yang masih liar.
Adapun masyarakat madani berasal dari bahasa Arab zaman Rasulullah s.a.w yang artinya juga sama dengan masyarakat kota yang sudah disentuh oleh peradaban baru (maju-, lawan dari masyarakat madni adalah masyarakat atau komunitas yang masih mengembara yang disebut badawah atau pengembara (badui).
Dunia barat mengalami kegagalan dalam menghadapi pemecahan ketegangan antara pusat keagamaan  (gereja) yang sarat dengan perbuatan magis religius , upacara-upacara ritual, takhyul dan lain-lainnya dengan kaisar yang penuh dengan martabat duniawi (kekuasaan) kekuatan dan benda-benda kehidupan sekuler, keduanya dengan Herarchi yang sentralistik (gereja dan kerajaan) dengan arus reformasi disekitarnya berakhir pada jalan buntu (Teori Dua Pandang) pimpinan gereja dengan masalh kerohaniannya dan kaisar denga urusan kekuasaan dunianya, kebuntuan ini melahirkan Civil Society yang membebaskan diri dari dari kekuatan pengaruh gereja dan tidak merasa tertekan oleh kekuasaan kaisar (Monorki Obsulut). Mereka sebagai warga masyarakt sipil membangun solidaritas umum yang disepakati bersama dalam kehidupan bersama sebagai warga Civis. Jalan buntu ituah melahirkan Sivil Society. Di negeri barat sesudah Revolusi Prancis tahun 1784 yang bertumpu dan bertindak pada sekularisasi (secularisme) yaitu penduniaan segala masalah kehidupan dan cita-cota kemasyarakatan dan bersandar pada etika Hedonisme yaitu kewajiban yang bersendi pada benda keduniaan semata-mata. Jadi secara jelas menunjukkan bahwa Civil Society di negara barat itu berinduk pada sekularisme dan sekulerisasi segala nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.
Sementara masyarakat Islam memiliki konsep (doktrin) yang konkrit untuk menciptakan kondisi masyarakat Islami. Islam bukan sekedar agama yang memiliki konsep ajaran spritualis (individual) semata, letaknya kemajemukan agama Islam karena menyandang ajaran pada semua aspek kehidupan manusia baik vertikal horizontal.

II.2.3 Masyarakat madani dalam sejarah

Ada dua masyarakat dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1)      Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2)      Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

II.2.4 Karakteristik masyarakat madani

Secara umum masyarakat yang beradab berciri; kemanusiaan, saling menghargai sesama manusia sebagai makhluk Ilahi dalam kehidupan bersama dalam masyarakat yang warga (civitasnya) pluralistik, memiliki berbagai perbedaan akan tetapi mengembangkan kehidupan individu yang demokratis, pemimpin yang mengayomi warga, masyarakat merasa dilindungi oleh sesama warga karena penghargaan hak-hak dan kewajiban masing-masing.
Masyarakat ideal menurut Islam adalah masyarakat yang taat pada aturan Ilahi yang hidup dengan damai dan tenteram yang tercukupi kebutuhan hidupnya. Dalam Al-Qur’an kondisi masyarakat seperti itu digambarkan dengan “baldatun Tayyibun Warabbun Gafur.” Negara yang baik, yang berada dalam lindungan ampunan-Nya.  Realisasi dari masyarakat ideal tersebut pada masa Nabi Muhammad s.a.w. dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Nabi Muhammad s.a.w. dicontohkan pada masa kehidupan rasul di kota Madinah, dimana masyaraktnya memberikan kepercayaan dan mewujudkan ketaatan pada kepemimpinan Rasulullah s.a.w. Hidup dalam kebersamaan dan Al-Qur’an sebagai landasan hidupnya.
Masyarakat madani dalam pandangan Islam adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang maju dalam penguasaan iptek. Karena itu dalam sejarah filsafat Islam dikenal istilah Madinah atau polis yang berarti kota yaitu masyarakat yang berperadaban. Masyarakat madani yang menjadi sentral idealisme yang diharapakan oleh masyarakat seperti yang tercantum dalam Q.S. Saba’/34:15. Masyarakat yang sejahtera, bahagia itulah yang oleh Allah dijadikan negara ideal bagi umat Islam dimana pun dan yang hidup di abad manapun, mempunyai cita-cita untuk hidup dalam negara yang baik dan sejahtera, bertaqwa kepada Allah s.w/t.
Piagam Madinah sebagai rujukan pembinaan masyarakat madani, yang merupakan perjanjian antara Rasul beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan kaum aus dan khazraj yang beragama watsani. Perjanjian Madinah ini berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat utnuk saling tolong-menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan rasul sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusannya dan memberi kebebasan bagi penduduk untuk memeluk agama sesuai denga ajaran agama yang dianutnya.
Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang paling ideal memiliki identitas khusus, yaitu: berTuhan, damai, tolong-menolong, toleran, keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial, berpandangan tinggi dan berakhlak mulia.

II.2.Perbedaan masyarakat madani dan civil society

Antara Masyarakat Madani dan Civil society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.

II.3 Umat Islam dalam tatanan dunia global menuju masyarakat madani

Dengan pesatnya perkembangan sains, teknologi, dan informasi, maka sekarang ini sebenarnya sudah tidak ada lagi dominasi peradaban timur dan atau peradaban barat. Yang sekarang ini terjadi adalah siapa yang menguasai sains, teknologi, dan informasi, maka merekalah yang akan mempengaruhi dan menentukan arah perjalanan masyarakat global. Maka yang urgent untuk diupayakan untuk diraih dan diwujudkan oleh umat islam ialah adanya kemampuan yang berkualitas tinggi dari umat sehingga memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara sehat dalam pluralisme cultural masyarakat global.
Tentu yang menjadi tantangan kita kedepan ialah bagaimana agar umat Islam memenangkan persaingan dan penguasaan informasi global itu. Bagi umat Islam, menurut Ziauddin Sardar (1988) bahwa informasi hanya akan berarti bila ia berada didalam kerangka pengetahuan tentang masyarakat dan melahirkan keselarasan hidup. Dan capaian keselarasan hidup itu hanya akan mungkin bila masyarakat muslim menjadi produk dan pengguna dari informasi itu sendiri.
Dalam pergumulan peradaban itulah terjadi persaingan dan perlombaan bahkan pertarungan untuk saling menjatuhkan dan memojokkan, bukannya saling melengkapi dan memperbaiki. Disini, umat Islam, dari segi dasar ajaran mengenai peradaban itu tidak mempunyai masalah, tetapi masalahnya ialah seberapa jauh kemampuan umat Islam merespon dan merekayasa masyarakat dunia agar sesuai dengan ajaran yang diyakininya.
Dengan semangat fistabiq al-khyrat dan khayra ummat maka umat Islam harus mempertaruhkan nilai-nilai ajaran yang diyakininya. Adanya pertarungan nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh masyarakat global, menurut Spranger memang setiap manusia dituntut secara moral memiliki tanggung jawab untuk mempertanggungjawabkan. Itulah sebabnya, gaya hidup manusia dalam memperjuangkan itu semua dikategorikan oleh para ahli ke dalam enam tipe dominan yakni:
1.      Manusia teoretis. Nilai utama bagi manusia teoretis ialah pencarian kebenaran. Karena upaya ini melibatkan penggunaan proses nasional, kritis, dan empiris. Yang termasuk tipe ini adalah pada umumnya kaum intelektual
2.      Manusia ekonomis. Tipe ideal manusia ekonomis ialah menilai apa yang berguna dan mencurahkan perhatiannya pada dunia bisnis atau peristiwa-peristiwa praktis yang berhubungan erat produksi, pemasaran, atau konsumsi barang. Perhatian tipe ini umumnya terletak pada kekayaan dan kepemilikan harta.
3.      Manusia estetis. Tipe manusia estetis selalu memandang bahwa nilai yang tertinggi ialah bentuk dan harmoni. Boleh jadi artis yang kreatif atau tidak, tetapi minatnya adalah pengalaman artistic atau estetis dalam kehidupannya. Manusia estetis selalu memandang manusia ekonomis dan teoretis tidak aspiratif dan bahkan dianggapnya bersikap destruktif pada nilai-nilai estetis.
4.      Manusia sosial. Tipe manusia ini senantiasa  meletakkan nilai utamanya pada afiliasi dan cinta. Manusia sosial sering menilai orang lain sebagai individu, cenderung ramah dan simpatetis. Mereka seringkali memandang manusia teoretis dan manusia ekonomis sebagai “manusia-manusia yang dingin” dan tidak manusiawi.
5.      Manusia politis. Tipe manusia seperti ini senantiasa menempatkan nilai utama kehidupannya pada kekuasaan. Kegiatannya mungkin tidak terbatas pada pengertian politik dalam arti sempit melainkan perhatian umumnya dalam pergaulan selalu ada kekuasaan, pengaruh, dan kompetisi aktif untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya.
6.      Manusia religious. Tipe manusia religious adalah menjadikan kesatuan (unity) sebagai nilai yang tertinggi. Ia adalah manusia mistikal yang selalu berusaha memahami dan menggabungkan dirinya dengan kosmos dan menemukan pengalaman nilainya yang lebih tinggi melalui falsafah keagamaan yang diyakininya.
Dengan demikian, untuk menuju masyarakat madani maka perlu kiranya memperhatikan keterkaitan berbagai elemen-elemen dasarnya yaitu (1) adanya semangat hijrah dan tajdid dari semua pihak secara menyeluruh, (2) adanya political will dari pihak penguasa, (3) keteladanan dan kepeloporan penguasa, (4) memiliki kemampuan untuk menggali informasi dan menerapkan ajaran Al-Quran, (5) adanya penguasaan dan memajukan sains dan teknologi serta (6) seluruh bidang kehidupan umat diupayakan semaksimal mungkin digali dari nilai-nilai Islam. Sebab bukankah kitab suci Al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah kepada umat manusia jauh sebelumnya yang kini telah melampaui batas-batas imajinasi, kemampuan nalar serta ambisi-adembisi manusia itu sendiri.
Dan dalam kerangka itu pulalah karenanya, Al-Qur’an dipersiapkan Allah agar ia dijadikan panduan (hudan) oleh manusia untuk menata sebuah kehidupan yang berperadaban yang sarat akan nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan.

II.4 Potensi umat Islam dan peranannya dalam dunia global demi mewujudkan masyarakat madani

Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Dalam kontek masyarakat Indonesia, di mana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat besar. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat Islam. Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang kepada umat Islam untuk menyalurkan aspirasinya secara konsturktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi umat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya, untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun umat Islam secara kuintatif mayoritas, tetapi secara kualitatif masih rendah, sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar ma’ruf dan nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas yang tinggi, korupsi yang terjadi di semua sektor, dan kurangnya rasa aman. Jika umat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.
         Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
1.    Kualitas SDM Umat Islam
Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang yang fasik.”
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
2.    Posisi Umat Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia jumlah umat Islam ±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.



                                                                                                                                                       III.            PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Kebudayaan Islam di masa modern ini mengalami kemunduran yang pesat. Konsep mayarakat madani sebagai sosok masyarakat intelektual yang dibangun oleh Rasulullah SAW sendiri pun mulai memudar dan tergantikan oleh konsep civil society yang dikembangkan oleh pemikiran-pemikiran barat. Pada tatanan global seperti saat ini, umat Islam dituntut untuk menunjukkan jati dirinya sebagai kaum intelektual yang terus memperjuangkan peradabannya yang telah tergerus zaman. Dengan segala potensi-potensi yang dimiliki seharusnya konsep peradaban yang madaniah bisa terwujud secepatnya, tetapi karena kesadaran dari kaum muslimin yang rendah dan adanya sikap yang enggan menampakkan dengan jelas jati dirinya di lingkungan sekitar sehingga peradaban yang didambakan masih terlalu sulit diciptakan.

III.2 Saran

Umat Islam seharusnya memanfaatkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya untuk menata sebuah kehidupan global yang sesuai dengan konsep masyarakat madani, bukannya malah terjerumus dan kehilangan kepribadian sebagai suatu umat yang intelek dan beradab namun tetap melakukan adaptasi terhadap perkembangan agar umat Islam tidak tertinggal dan terbelakang.



DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Muntaha dan Abdul Mun’im Saleh. 1989. Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta : P3M
Fauzi, Muhammad. 2007. Agama dan Realitas Sosial : Renungan & Jalan Menuju Kebahagiaan. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
Hakim, Abdul ‘Dubbun’, dkk. 2006. Menembus Batas Tradisi Menuju Masa Depan yang Membebaskan : Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Kuntowojiyo. 1991. Paradigma Islam. Bandung : Mizan
Rais, M. Amien. 1989. Cakrawala Islam. Bandung : Mizan
Sardar, Ziauddin. 1988. Information on the Muslim World: A Strategy for The Twenty-First Century. London-New York : Manzell Publishing Limited
Woodward, Mark R. 1996. Toward A New Paradigma: Recent Developments in Indonesians Islamic Thought. Arizona : Arizona State University